Copyright © The Root of Learning
Design by Dzignine

The Root of Learning

Adalah blog tentang semangat belajar seorang anak. Dalam blog ini kami dokumentasikan petualangan belajar, kurikulum, dan materi belajar yang kami gunakan. Belajar tak mengenal batasan.
Thursday, January 8, 2015

Tidak Jadi Ujian Tahun Ini... YAY!


YAY!!!

*kok malah senang? Ada apa sih dibalik ini semua?*

Pertengahan tahun 2014 kami memutuskan untuk mendaftarkan anak kami pada ujian paket tahun 2015. Semua persyaratan telah kami kirimkan sejak Oktober (atau November ya... lupa!) 2014. Oiya, kami mendaftar di sebuah PKBM di Jawa Tengah, kenapa sejauh itu? Karena menurut info yang kami dapat, anak kami yang usianya belum memenuhi syarat ini (selisih setahun lebih awal), bisa menempuh UNPK di sana. Sementara itu di PKBM lain tidak bisa menerima anak yang usianya belum memenuhi syarat UNPK. Selain itu biaya yang dikenakan juga sangat murah, sesuai dengan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Anyway, sejak itu pola belajar anak kami adalah belajar untuk mempersiapkan ujian. Jatuh-bangun aku mengejarmu, duhai ujian! Belajar tak lagi menyenangkan karena banyak hal yang tak sesuai dengan minat terpaksa dilakukan. Belum lagi mata pelajaran yang hanya menghafal, tak bisa dicerna secara logis, dan abstrak bagi anak. Pelajaran yang abstrak, tak bisa dihadapi secara konkrit akan susah dicerna, apalagi jika hanya mengandalkan hafalan. Anak stress, ibu juga! Ibu stress... bapaknya juga jadi sengsara... hahaha... ini bahasa yang hiperbolik loh!

Akhir 2014, saya putuskan (tentunya dengan seijin bapaknya) untuk tidak lagi menerapkan belajar demi ujian. Kami balik ke belajar yang untuk memuaskan keingintahuan. Sejak itu kami belajar dengan asyik lagi. Eeeeeeeh ternyataaaaaa..... beberapa hari lalu saya menerima kabar bahwa PKBM tempat saya mendaftar itu tidak lagi bisa menerima peserta ujian yang belum mencapai usianya! Puji Tuhan!

Eh kok "puji Tuhan" sih? Lha iya... itu artinya kami masih bisa menyisipkan "belajar untuk ujian" ini dengan santai, dengan cara yang tidak terburu-buru. Kan masih tahun 2016 ujiannya.

Secara iseng saya juga menanyakan pada teman saya di PKBM itu: apakah test IQ diterima jika ingin tetap mengikuti UNPK? Ternyata tetap tidak bisa digunakan. Yang saya dengar beberapa waktu lalu, anak yang ingin percepatan dalam mengikuti UNPK bisa menyertakan hasil test IQ yang diatas 130 sebagai persyaratannya. Tapi kali ini tidak bisa. Begitu juga yang saya tahu berlaku di PKBM dekat rumah saya, tidak bisa menggunakan syarat test IQ.

Dalam hati saya sebetulnya berteriak girang mengingat kebelumsiapan kami 100%.

Ok untuk saat ini kami akan tetap lanjut dengan aktivitas belajar untuk memenuhi keingintahuan, daaaaan... kurikulum traveling! Hahahaaa.... kami hobi traveling kemana saja. Ini sangat menyenangkan dan bisa banyak yang dipelajari oleh anak saya. Yuk ah.. kita jalan-jalan lagi!
Monday, December 1, 2014

Structured, Semi Structured, or Unstructured

Homeschool yang kami jalani termasuk yang semi-structured. Kami memakai kurikulum, memakai materi yang terjadwal lebih dahulu di awal tahun ajaran, tapi kami tidak menjadwalkannya. Pemberiannya ditawarkan pada anak, apakah dia mau belajar materi tersebut? Cara pemberiannya pun dipikirkan belakangan, ketika materi itu akan diberikan, dengan melihat kondisi suasana hati anak dan suasana lingkungan pada waktu materi akan diberikan. Cara ini sangat luwes namun masih bisa memastikan bahwa suatu materi pelajaran yang penting tidak missed untuk diberikan.

Ada juga keluarga yang structured, mereka menjadwalkan materi per materi dalam hari per hari, bahkan dalam jam. Cara ini baik, karena yakin suatu materi akan diberikan dengan lengkap dan target pasti terkejar. Untuk yang menginginkan akselerasi, cara ini sangat baik karena target kurikulum bisa dicapai, bahkan untuk keluarga homeschool, akan bisa terlampaui. Namun saya akui tidak bisa menerapkan ini pada anak saya. Pertama, karena kami ingin menikmati belajar sebagai suatu proses yang terintegrasi antara materi pelajaran dengan kondisi lingkungan dan diri anak serta keluarga. Kedua, saya adalah ibu bekerja (walaupun dari rumah) dengan seabrek target kerja, keharusan terstruktur ini kadang menyulitkan ketika jadwal atau kondisi bertabrakan dengan tuntutan pekerjaan.

Selain itu ada juga yang menjalaninya secara unstructured, tidak terstruktur sama sekali. Mereka belajar sesuai apa yang mereka inginkan pada waktu itu. Tidak ada patokan materi, jadwal, bahkan kurikulum. Cara ini juga ada baiknya, karena bisa memfasilitasi keinginan belajar yang murni hanya dari anak. Bagi kami cara ini kurang tepat, karena kami masih berpikir untuk mengikuti ujian, sehingga tidak ingin ada materi yang terlewat.

Apapun cara belajar yang dipilih, pikirkanlah kondisi pribadi untuk mempertimbangkannya. Tidak hanya trend. Pendidikan bukan tentang trend. Ini tentang kemauan keluarga untuk memberi yang terbaik bagi edukasi anak.

Pada postingan ini saya memberikan suatu pencatatan jadwal materi pelajaran yang bisa digunakan oleh ketiga type di atas. Jika structured, gunakan semua lembar secara detail, jika semi-structured gunakan secara luwes, dan bisa dipindah-pindah jadwalnya. Jika unstructured cukup gunakan lembar jurnal.

Subscribe dulu ya... setelah itu akan diarahkan ke download linknya. Jika sudah pernah subscribe silakan subscribe lagi, no problem!


Saturday, November 22, 2014

Belajar Untuk Ujian? Lupakan Dulu Deh!

Selama beberapa bulan ini, sejak kami memutuskan untuk mendaftarkan anak kami pada ujian paket A, kami memutuskan untuk belajar demi berhasil mengerjakan soal ujian. Wuih ternyata... memang sangat berbeda rasanya jika dibandingkan dengan belajar dengan tujuan yang sebenarnya, yaitu untuk memperoleh pengalaman dan pengetahuan melalui pengalaman, pemikiran, atau pengajaran. Belajar untuk berhasil lulus ujian itu berat, tidak menyenangkan, dan rasanya ingin cepat-cepat berlalu saja.



Selama berbulan-bulan itu anak tidak lagi merasakan betapa menyenangkannya belajar. Jangankan anak, saya pun merasakan belajar tidak lagi menyenangkan, tapi menjemukan, kadang malah terasa sangat berat, ketika anak tidak enjoy dengan menghafalnya. Juga seringkali terasa terburu-buru harus menyelesaikan target orang lain. Belajar tak lagi bisa dinikmati.

Lalu beberapa hari lalu, saya bertekad bulat dan nekad, bahwa saya tidak lagi menganjurkan anak untuk belajar demi ujian. Saya akan ikuti belajar demi ujian jika anak yang menginginkannya. Kami akan tetap belajar untuk menjawab keingintahuan, bukan untuk kelulusan ujian. Ijazah kelulusan itu biarlah jadi "bonus" saja bagi proses belajar kami. Biarlah belajar itu tetap jadi satu cara pembentukan karakter serta hubungan komunikasi yang baik antara anak dan orangtua. Supaya belajar tetap indah dirasakan.

Lalu, kami pun kembali belajar tentang.... arthropleura! Apa itu? Itu termasuk salah satu jenis dinosaurus. Kami mempelajari cara hidupnya yang sangat menarik, terutama bahwa dia tidak memiliki pemangsa! Itu karena kulitnya yang tebal dan ukuran tubuhnya yang besar.

Selain itu kami juga mempersiapkan diri untuk Natal, belajar ayat-ayat yang berisi kisah kelahiran Yesus, dan menjawab pertanyaan imajinasi, tentang perasaan anak jika dia menjadi gembala, orang majus, juga menjadi Maria bunda Yesus, dan menjadi Yosef ayah duniawi bagi Yesus. Jawaban anak saya sungguh luar biasa. Dia paham makna Natal yang sebenarnya!

Belajar untuk ujian? Lupakan dulu deh! Inilah asyiknya pendidikan berbasis keluarga (homeschooling/home education).
Sunday, November 9, 2014

Ebook review: 25 Christmas Science Projects for Kids

Ebook ini berisi 25 eksperimen yang menyenangkan untuk anak usia TK sampai SD. Walaupun judulnya bertema Natal, namun ebook ini bisa digunakan untuk yang non kristiani.

25 eksperimen yang ada dalam ebook ini sangat menarik untuk dilakukan oleh anak, dengan bahan yang tidak sulit didapat di sekitar kita. Hari ini, 9 November 2014, Carla Jansen, penulisnya memberikan ebook ini untuk di-download gratis, namun setelah itu, jika ingin mendapatkannya bisa melalui link ini.

Anak saya yang sudah usia 10 tahun, masih suka bermain-main dengan eksperimen di buku ini. Dia hanya bermain, mencoba sendiri, karena beberapa eksperimen telah dipelajarinya. Namun untuk anak yang lebih mudah, bereksperimen seperti yang ada dalam buku ini akan sangat menimbulkan ketertarikan dan pembelajaran. Beberapa eksperimen harus dengan pendampingan orangtua, namun ada juga yang bisa dilakukan sendiri oleh anak, tergantung kemampuan anak. Jangan ragu untuk mendapatkan ebook ini.
Saturday, November 8, 2014

Lebih Pandai Menghargai Kebaikan

"Dekat dengan kebaikan
akan mempermudah kita
untuk bersyukur,
dan merasa bahagia."

Manusia, pada dasarnya memiliki kecenderungan mudah mengingat tindakan buruk yang ditimpakan padanya, daripada tindakan baik yang diberikan seseorang padanya. Seorang anak akan lebih mudah mengingat amarah orangtua daripada belaian, jika kedua hal itu diberikan dalam kuantitas yang sama. Dibutuhkan kuantitas belaian yang jauh lebih banyak daripada amarah jika orangtua ingin meninggalkan kesan baik pada pikiran anaknya. Selain itu, dibutuhkan juga penegasan secara lisan tentang kasih sayang orangtua pada anaknya, supaya anak paham dan mudah mengingat belaian itu sebagai wujud kasih sayang, daripada amarah.

Meninggalkan kesan baik itu memang butuh kerja keras jika dibandingkan dengan meninggalkan kesan buruk. Itu karena kecenderungan manusia untuk lebih mengingat yang buruk daripada kebaikan. Itu memang kecenderungan ya, tapi sebagai manusia, kita diharapkan untuk lebih pandai menyadari kebaikan daripada keburukan, karena dekat dengan kebaikan akan mempermudah kita untuk bersyukur, dan merasa bahagia.

Bagaimana jika anak kita demikian?
Cara yang tepat, tentu saja:

1. Mendoakan anak supaya diberi kebijakan dan kepandaian bersyukur.
Ini memang yang utama harus dilakukan. Salah satu tugas orangtua adalah mendekatkan anak pada Penciptanya.



2. Meneladankan tindakan mudah bersyukur daripada bersungut-sungut.
Coba introspeksi, apakah kedua orangtua memang sudah pandai bersyukur? Atau justru masih bersungut-sungut? Anak banyak meniru tindakan orangtua loh... Berubahlah mulai sekarang, kurangi melakukan kritik yang tidak membangun, kurangi menggerutu. Perbanyak ucapan syukur, dan lakukan itu di depan anak supaya anak bisa menyontoh anda.

3. Memberi contoh betapa dia sangat beruntung dibandingkan orang lain.
Mengunjungi panti asuhan, penampungan anak jalanan, atau melihat tayangan kemiskinan bisa dijadikan pembanding antara anak dan orang lain yang kurang baik nasibnya. Narasikan apa yang dia lihat, bandingkan perbedaan yang ada, dengan demikian anak akan lebih mudah memahami. Tanpa dinarasikan anak akan sulit memahaminya.

4. Membiasakan anak mengingat dan menyebutkan kebaikan yang telah diterimanya
Setiap malam, setelah doa malam bersama, kami membiasakan diri dengan menyebutkan kebaikan yang telah kami masing-masing terima. Saya menyebutkan kebaikan yang saya terima dari suami, dan kebaikan yang saya terima dari anak. Anak menyebutkan kebaikan yang telah dia terima dari saya dan papinya. Suami saya juga begitu, menyebutkan kebaikan yang telah dia terima dari saya dan dari anak. Dengan ini kami berharap anak akan lebih peka terhadap kebaikan yang dia terima.

Jika anda punya cara lain, silakan share di kotak komentar, untuk saling memperkaya.